BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tuhan
menciptakan manusia dalam berbagai suku dan bangsa di permukaan bumi ini
dianjurkan untuk saling kenal mengenal. Hal ini mengidinfikasikan manusia
saling membutuhkan dan diharapkan saling menyayangi menghargai hak-hak mereka
satu sama lainnya.[1]
Manusia dilahirkan di dunia pada hakikatnya telah dianugrahi suatu naluri untuk
hidup bersama-sama dengan manusia-manusia lain. Naluri ini disebut gregariousness yang merupakan anugrah
Tuhan yang Mahakuasa, oleh karena itu manusia memang tidak dilengkapi dengan
alat-alat yang memungkinkan dia untuk hidup sendiri.[2] Allah
SWT membuat sebuah jalan untuk menyatukan antara laki-laki dan perempuan di
dalam sebuah hubungan yang benar dan halal yang disebut dengan pernikahan.
Dan
Allah SWT berfirman:
Terjemahnya
:
Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal . (QS. Al-Hujurat
(49): 13).[3]
Akad
pernikahan dalam Hukum Islam bukanlah
sengketa perdata semata, melainkan ikatan suci (misaqan qalizan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada
Allah. Dengan demikian ada di mensi ibadah dalam sebuah pernikahan. Namun,
seringkali apa yang menjadi tujuan pernikahan kandas di tengah jalan.
Sebenarnya putusnya pernikahan meupakan hal yang wajar saja. Karena makna dasar
sebuah akad adalah ikatan atau dapat juga di katakana pernikahan pada dasarnya
adalah kontrak.[4]
Termasuk
dari hakikat atas seorang muslim bahwa pernikahan merupakan ikatan yang kokoh,
mengikatkan hati, dan melembutkannya mencampurkan nasab, menumbuhkan hubungan
kemasyarakatan, menjadi kemaslahatan, sehingga manusia dapat mnjaga hubungan
antarindividu dan golongan. Dengan demikian, menjadi luas hubungan
kemasyarakatan. Sungguh Allah SWT telah menjadikan hubungan semenda (hubungan kekeluargaan
karena perkawinan) di menjadi dasar nasab, Allah berfirman:
Terjemahnya
:
“Dan dia (pula)
yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah, dan adalah Tuhan Mahakuasa. (QS. Al-Furqan (25) :
54).
Menurut
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa yang di maksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa[5] sedangkan
menurut istilah syara’ Nikah itu sendiri
berarti akad yang menghalalkan persetubuhan[6]
Tujuan
perkawinan bukan hanya sekedar sebagai pemuas kebutuhan biologis semata akan
tetapi jauh dari itu adalah untuk melaksanakan sunnah Rsulullah SAW di dalam
Al-Qur’an Allah SWT telah menganjurkan kepada Hambanya untuk melangsungkan
pernikahan sepanjang iapun melaksanakan sebab itu berumah tangga merupakan
rahmat, sekaligus merupakan bukti kekuasaan Allah SWT bagi manusia sebagaimana
yang di jelaskan dalam salah satu ayat dalam QS.Ar-Ruum/30:21
Terjemahnya :
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan
saying. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.[7]
Beriringan
dengan kesadaran pasangan suami isteri kalaulah perpisahan akan menimbulkan
banyak pengaruh terhadap mental antara satu sama lain dan keturunan keduanya.
Dalam hal ini Dr. Musthafa Abdul Wahid menyatakan bahwa suami yang berpikir
baik adalah seseorang yang mampu terhadap isterinya dengan merekatkan perbedaan
antara mereka, merasa luas pada kebaikan, meninggalkan tipu daya untuk
memperoleh kembali cintanya, dan bekerja dengan perasaanya sehingga tinggilah
kemampuan isteri dan bertambah cintanya. Ia melihatnya dengan jiwa ikhlas dan
ruh suci.[8]
Mediasi
adalah jalur alternative penyelesaian sengketa atau biasa dikenal dengan
istilah “mekanisme alternative penyelesaian sengketa” yang tumbuh pertama kali
di Amerika serikat. Mediasi itu lahir dilatarbelakangi oleh lambannya proses
penyelesaian sengketa di pengadilan, oleh karena itu mediasi ini muncul sebagai
jawaban atas ketidakpuasan yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara
pada persoalan waktu, biaya dan kemampuannya dalam menangani kasus yang
kompleks. Padahal di nusantara telah lama dipraktekan tentang penyelesaian
sengketa melalui musyawarah. Istilah khusus dalam pengadilan disebut mediasi.
Mediasi
sangat sulit diberi pengertian. Dimensinya sangat jamak dan tak terbatas,
sehingga banyak orang yang menyebutkan mediasi tidak mudah diberi definisi hal
ini karena mediasi tidak member satu model yang dapat diuraikan secara
terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya. Pihak yang
terlibat adalah pihak mediator dan pihak yang bersangkutan dalam sengketa.
Dalam
peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, pengertian mediasi disebutkan pada
Pasal 1 butir 1, yaitu : “mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Di sini disebutkan kata
mediator yang harus mencari “berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa” yang
diterima para pihak. Pengertian mediator, disebutkan dalam pasal 1 butir 2,
yaitu: “mediator adalah hakim atau pihak
lain yang memilki Sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para
pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa mengunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Mediasi
di pengadilan Agama adalah suatu proses perdamaian antara suami isteri yang
telah mengajukan gugatan cerai dimana mediasi ini dijembatani oleh seorang
Hakimyang ditunjuk di Pengadilan Agama. Proses mediasi ini dapat dikatakan baru
dilaksanakan dalam pengadilan Agama pada tahub 2007 berdasarkan peraturan
Mahkamah Agung No. 1 tahun 2007 (PerMA No. 1/2007).
Dalam
hukum Islam, mencengah perceraian antara suami dan isteri harus selalu
diupayakan, sekalipun konflik sudah sampai ubun-ubun, tetapi terus diupayakan
untuk mencengah terjadinya perceraian salah satunya dengan mediasi.
Untuk
menangani perkara perdata yang masuk di pengadilan, telah dikeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003, yang telah di revisi dan diganti oleh
PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan akan tetapi dengan berlakunya PERMA No.
1/2016, maka ketentuan dari PERMA No. 2/2003 dan juga PERMA No. 1/2008
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. PERMA ini dimaksudkan untuk
memberikan akses yang lebih kepada para pihak dalam rangka menemukan
penyelesaian perkara secara damai yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Berdasarkan
hal tersebut peneliti ingin mengkaji peranan Hakim dan Memediasi pada
perceraian di Pengadilan Agama Maros. Sebagai subjek penelitian dengan alasan
Pengadilan Agama MAros terletak di kota yang maju yang setiap tahunnya angka
perceraian terus mengalami peningktana, sehingga dengan penelitian ini dapat
diketahui sejaub mana peran dan fungsi lembaga mediasi di Pengadilan Agama
Maros berperan aktif dalam menekan jumlah angka perceraian.
B.
Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka
penulis dapat mengemukakan rumusan masalah yang berkaitan dengan hal ini yaitu
: “Bagaimana Peranan Hakim dalam Memediasi
pada perceraian di Pengadilan Agama Maros”.
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka dapat
dirumuskan sub masalah sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor
apa yang menyebabkan hakim dalam memediasi perceraian di Pengadilan Agama
Maros?
2.
Bagaimana langkah-langkah
dan upaya-upaya Hakim dalam Memediasi pada perceraian di Pengadilan Agama Maros
?
3.
Hambatan-hambatan
apa saja dalam memediasi perceraian di
pengadilan agama maros?
C.
Fokus
Penelitian dan Deskripsi Fokus
1.
Fokus
Penelitian
Penelitian ini berjudul Peranan Hakim dalam
Memediasi pada Perceraian suami isteri di Pengadilan Agama Maros. Oleh karena
itu penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan jenis penelitian
kualitatif, maka ini di fokuskan pada ruang lingkup tentang peranan hakim
mediator dalam memediasi perceraian suami isteri. Maka penulis mengemukakan
bahwa menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu:
a.
Faktor-faktor
apa yang menyebabkan hakim dalam memediasi perceraian di Pengadilan Agama Maros
b.
Langkah-langkah
dan Upaya-upaya hakim dalam memediasi pada perceraian di Pengadilan Agama Maros
c.
Hambatan-hambatan
yang dihadapi hakim dalam memediasi perceraian di Pengadilan Agama Maros.
2.
Deskripsi
Fokus
Penelitian ini berjudul “Peranan Hakim dalam
Memediasi pada perceraian di Pengadilan
Agama Maros”. Berdasarkan judul tersebut maka deskripsi penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a.
Faktor-faktor
apa yang menyebabkan hakim dalam memediasi perceraian di Pengadilan Agama Maros
seperti masih adanya cinta diantara pasangan suami isteri, dan adanya keturunan
yang ingin di jaga sepenuhnya
b.
Langkah-langkah
dan Upaya-upaya hakim dalam memediasi pada perceraian di Pengadilan Agama yaitu
benar-benar mengoptimalkan agar mediasi mampu menjadi sarana perdamaian anatara
suami isteri.
c.
Hambatan-hambatan
yang dihadapi dalam memediasi perceraian
di Pengadilan Agama Maros adalah keegoisan para pihak dan gengsi untuk bertemu
kembali dengan pasangannya.
D.
Kajian
Pustaka
Judul yang penulis akan teliti, belum pernah
diteliti oleh orang lain sebelumnya. Karya ilmiah ini merupakan karya ilmiah
yang pertama dilakukan di Pengadilan Agama Maros khususnya tentang Mediasi pada
Perceraian. Adapun peneliti sebelumnya yang dianggap relavan dengan penelitian
ini antara lain:
1.
Penelitian
yang di lakukan oleh: Abdul Gapur, jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah pada tahun
2010 dengan judul “Problem yang dihadapi Hakim mediator dalam mediasi
perceraian suami isteri di Pengadilan Agama Yogyakarta” Skripsi ini merupakan
penelitian berisikan problem yang dihadapi hakim mediator dalam medasi dan apa
saja penyelesaiannya dan upaya-upaya hakim mediator di pengadilan Agama Maros.[9]
2.
Penelitian
yang di lakukan oleh : Arif Rijal Fadilah, jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah
pada tahun 2014 dengan judul “Efektivitas Mediasi dalam perkara di Pengadilan
Agama Sleman Yogyakarta” skripsi ini merupakan penelitian kualitatif berisikan
mengenai Efektivitas Mediasi terhadap perkara di Pengadilan Agama Sleman
Yogyakarta.[10]
Bertolak dari beberapa hasil penelitian yang telah
dikemukakan di atas, maka penelitian yang akan di laksanakan berbeda dari
sebelumnya, sebab secara keseluruhan berbeda, baik dari persfektif kajian
maupun dari segi metodologi, dan tidak ada satupun yang menyinggung tentang
Peranan Hakim dalam Mememdiasi Perceraian di Pengadilan Agama Maros.
E.
Tujuan
Penelitian dan kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
a.
Untuk
mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan hakim dalam memediasi perceraian
di Pengadilan Agama Maros
b.
Untuk
mengetahui upaya-upaya hakim dalam memediasi pada perceraian di Pengadilan
Agama Maros.
c.
Untuk
mengetahui penyelesaian hakim terhadap problem yang dihadapi dalam memediasi
perceraian di Pengadilan Agama Maros
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Kegunaan
Ilmiah
1.
Memberikan
pengetahuan tentang peranan hakim dalam mengatasi mediasi perceraian.
2.
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam upaya memperkaya
kepustakaan sebagai bahan untuk memperluas wawasan bagi mahasiswa Sekolah
Tinggi Agama Islam Darud Dakwah Wal-Irsyad khususnya pada Mahasiswa Syari’ah
b.
Kegunaan
Praktis
1.
Sebagai bahan
referensi dan masukan kepada para hakim dalam memediasi perceraian.
2.
Sebagai bentuk
tugas akhir penulis guna memperoleh gelar sarjana S-1 jurusan Syari’ah di STAI
DDI Maros.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
Hakim
1.
Pengertian
Hakim
Sekilas peradilan Negara yang diberi wewengan oleh
undang-undang untuk mengadili disebut Hakim (vide pasal 1 butir 8 KUHAP).
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Pasal 12 ayat (1) menyebutkan dengan Hakim
pengadilan yaitu pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.[11]
Mediator adalah hakim atau pihak lain yang memiliki
sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksa sebuah penyelesaian.[12]
Hakim merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi
pencari keadilan dalam proses peradilan. Sebagai salah stu elemen kekuasaan
kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara, hakim di tuntut
memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. [13]
Maka dari itu hakim adalah pejabat yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman (pasal 11 ayat (1) Undang-undang no 7 Tahun 1989,[14]
sehingga istilah pejabat membawa konsekuensi yang berat oleh karena kewenangan
dan tanggung jawabnya terusmuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan
sikap tertentu, yaitu penengak hukum dan keadilan.[15]
Dalam diri hakim diemban suatu amanah agar peraturan
perundang-undangnan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan
peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidak adilan, maka hakim wajib
berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengesampingkan hukum atau peraturan
perundang-undangan (legal justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law ), yang tentunya
sesaui pula atau merupakan pencerminan diri yang berlaku dalam masyarakat (
social justice).[16] Keadilan yang di maksudkan
disini bukanlah keadilan yang bersifat formil, melainkan keadilan yang bersifat
materiel/ subtantif yang sesuai dengan hati nurani hakim sehingga hakim sangat
dianjurkan untuk berlaku adil.
2.
Syarat-syarat
Hakim
Undang-undang no 2 tahun 1986, melalui pasal 14 ayat
(1) telah menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi agar dapat diangkat
menjadi Hakim pengadilan negeri. Rincian syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Warga Negara
Indonesia ;
2.
Bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa;
3.
Setia kepada
pancasila dan undang-undang dasar 1945;
4.
Bukan bekas
anggota organisasi terlarang partai komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
gerakan kontra revolusi G-30-S/PKI atau organisasi terlarang lainnya;
5.
Pengawai
negeri;
6.
Serjana hukum
7.
Berumur
serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
8.
Berwibawa,
jujur, adil, berkelakuan tidak tercela. Syarat-syarat tersebut pada danya untuk
mendasarnya sama dengan syarat untuk diangkat untuk menjadi jaksa. Bedanya
untuk menjadi jaksa undang-undang mensyaratkan harus lulus pendidikan dan latihan pembentukan jasa (lihat pasal 9 undang-undang
no 5 tahun 1991).[17]
Adapun para ahli memberikan syarat-syarat dalam
mengangkat seorang hakim walaupun ada perbedaan dalam syarat-syarat tersebut.
Syarat yang di maksud adalah sebagai berikut :
1.
Laki-laki
merdeka
Menurut mazhab Maliki, Syafi’I, dan Ahmad, anak
kecil dan wanita tidak sah menjadi hakim. Namun, Hanafi membolehkan wanita
menjadi hakim dalam masalah pidana dan qishash karena kedua hal tersebut
kesakisiannya tidak dapat diterima.
2.
Berakal
(mempunyai kecerdasan)
Syarat ini disepakati oleh seluruh ulama. Hakim
harus orang yang cerdas, bijaksana, mampu meperoleh penjelasan dan menanggapi
sesuatu yang muskil.
3.
Beragama Islam
Adapun alasan mengapa ke-Islaman seorang menjadi
syarat seorang hakim. Karena ke-Islaman adalah syarat untuk menjadi saksi atas
seorang muslim, demikian jumhur ulama. Karenanya, hakim nonmuslim tidak boleh
memutuskan perkara orang muslim.
4.
Adil
Seorang hakim harus terpelihara dari
perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya, baik di waktu marah atau
tenang, dan perkataannya harus benar.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara mazhab
Hanafi dan Syafi’I. golongan Hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik
adalah sah bila sesuai dengan syara’ dan undang-undang. Sedangkan Syafi’i tidak
membolehkan mengangkat orang fasik menjadi hakim karena seorang fasik tidak
diterima sebagai saksi.
5.
Mengetahui
segala pokok hukum dan cabang-cabangnya.
Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang
hukum agar meperoleh jalan untuk perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini
Hanafi membolehkan mukalid menjadi hakim
sesuai pendapat al-Ghazali karena mencari orang yang adil dan ahli ijtihad
sangat sulit dengan ketentuan yang telah diangkat oleh penguasa.
6.
Mendengar ,
melihat , dan tidak bisu
Orang bisu
tidak boleh diangkat menjadi Hakim karena orang bisu tidak bisa menyebut
putusan yang dijatuhkan. Demikina pula orang tuli karena tidak dapat
mendengarkan keterangan para pihak, sedang orang buta tidak dapat melihat
orang-orang yang berperkara. Syafi’I membolehkan orang buta, tetapi mengakui
lebih utama orang yang tegap dan sehat.[18]
3.
kewajiban Hakim
Sebagai pengawai negeri sipil Hakim harus
mengindahkan 26 (dua puluh enam) kewajiban yang tertuang dalam peraturan
pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang peraturan Disiplin pengawai Negeri
sipil. Dirumuskan melalui Pasal, bahwa setiap pengawai negeri sipil wajib
bersikap:
1.
setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan pemerintah
2.
mengutamakan
kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atatu diri sendiri, serta
menghindari segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh
kepentingan golongan diri sendiri atau pihak lain.
3.
Menjunjung tinggi kehoramatan dan martabat Negara
pemerintah, dan pengawai negeri sipil.
4.
Mengangkat dan
menaati sumpah/janji pengawai negeri sipil dan sumpah janji jabatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.
Menyimpan
rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya.
6.
Memperhatikan
dan melakukan segala ketentuan pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas
kedinasannya maupun yang berlaku secara umum.
7.
Melaksanakan
tugas kedinasan yang sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan
tanggung jawab.
8.
Bekerja dengan
jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.
9.
Memelihara dan
meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan korps pengawai
negeri sipil.
10. Segera melaporkan kepada atasannya apabila
mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/pemerintah,
terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.
11. Menaati jam kerja
12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.
13. Mengunakan dan memelihara brang-barang milik Negara
dengan sebaik-baiknya.
14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada
masyarakat menurut bidang tugas masing-masing
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil, dan
bijaksana terhadap bawahannya.
16. Membimbing bawahannya dan melaksanakan tugasnya.
17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang
baik terhadap bawahannya.
18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi
kerja
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengembangkan karier.
20. Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan
tentang perpajakan.
21. Berpakaian rapid an sopan serta sikap dan bertingkah
laku sopan dan santun terhadap masyarakat, sesame pengawai negeri sipil, dan
terhadap atasan.
22. Hormat-menghormati antara sesama warga Negara yang
memeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang berlainan.
23. Menjadi teladan sebagai warga Negara yang baik dalam
masyarakat.
24. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan
peraturan kedinasan yang berlaku.
25. Menaati perintah kedinasan dari atasan yang
berwenang.
26. Memperhatikan dan menyelesaikan setiap laporan yang
diterima mengenai pelanggaran disiplin dengan sebaik-baiknya.[19]
4.
Fungsi dan
Tujuan Hakim
Tugas dan kewenangan hakim harus diaktualisasikan
secara proporsional dalam kerangka penengakan hukum, kebenaran dan keadilan
sesuai peraturan perundang-undangan maipun kode etik serta memperhatikan hukum
yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus senantiasa berinteraksi dengan rasa
keadilan masyarakat, dengan memperhatikan prinsip equality before the law. Kewenangan hakim yang sangat besar ity
menuntut tanggung jawab yang tinggi , sehingga putusan pengadilan yang di buka
dengan kalimat “ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa” bermakna, bahwa kewajiban
menengakkan kebenaran dan keadilan harus di pertanggung jawabkan secara
hotizontal kepada semua manusia dan secara vertical di pertanggung jawabkan
kepada Tuhan yang Maha Esa.[20]
Sudah menjadi satu kepastian bila masyarakat
memerlukan penguasa yang menertibkan (perngaulan di antara mereka), mengatur,
dan memelihara kenyamanan hidup mereka. Pemerintah tidak mungkin mampu
menangani masyarakat sehingga diperlukan pembantu-pembantu yang melaksanakan
berbagai urusan rakyat dan melaksanakan beban-beban pemerintah. Mereka
melaksanakan sesuai dengan bidangnya masing- masing, di antaranya lembaga
peradilan. Untuk itu diperlukan pejabat yang memangku lembaga tersebut sehingga
mengangkat hakim hukumnya wajib.
B.
Mediasi
pada Perceraian
1.
Pengertian
Mediasi
Dalam kamus Hukum menjelaskan bahwa Mediasi adalah
suatu proses penyelesaian sengketa secara damai dan melibatkan bantuan pihak
ketiga untuk memberikan solusi yang dapat di terima pihak-pihak yang
bersengketa ; pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengekta antara
dua pihak.[21] Dalam Peraturan Mahkamah
Agung menetepkan dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 Pasal 1 bahwa :
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak oleh dibantu dengan mediator.[22]
Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para
akademisi dan praktisi akhir-akhir ini. Para ilmuan berusaha mengungkapkan
secara jelas makna mediasi dalam berbagai literatur. Ilmiah melalui penelitian
dan studi akademik. Begitu pula para praktisi cukup banyak menerapkan mediasi
dalam penyelesaian sengketa hukum. Menurut Laurence boulle yang dikutip Rustam
:
Mediasi
semakin popular dalam kalangan teoritis dan praktisi melahirkan pendekatan yang
brbeda dalam mendefinisikan mediasi sesuai dengan cara pandang masing-masing. [23]
Secara etimologi,
istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti, berada di tengah. Makna ini menunjuk pada
peran pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. “berada di tengah” juga bermakna,
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara
adil dan seimbang, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak ya g
bersengketa(disputans).[24]
Penganturan medisi di lingkungan Pengadilan Umum dan
di Pengadilan Agama Merupakan salah satu upaya untuk memngingatkan kecepatan
penyelesaian perkara kepada kedua lembaga peradilan tersebut namun demikian,
prosuder menyelesaikan sengketa secara mediasi yang di atur, masih menyisakan
berbagai permasalahan bila mana dikaitkan dengan prinsip-prinsip mediasi.
Adapun menurut Tony Whating menulis lima prinsip
mediasi yang di kutip oleh Rustam adalah[25]
1. Voluntary participation
Salah satu prinsip mediasi adalah voluntaru participation atau “pengikut
sertaan sukarela” dalam proses mediasi.
2. Neutrality
Prinsip mediasi selanjutnya adalah “neutrality”
atau “kenetralan” dalam mediasi . prinsip ini lebih mengarah kepada peran
mediator yang seharusnya mempunyai posisi yang tidak memihak kepada salah satu
pihak.
3. Impartiality
Mediator seharusnya bersikap tidak memihak, jujur, dan adil, atau di
kenal dengan prinsip “impartiality”
4. Confidentiality
Dalam proses mediasi dibutuhkan kerahasiaan agar tidak dicampuri oleh
orang lain, selain para pihak dan mediator, sehingga prinsip “confidentiality” meruapakan suatu hal
yang mutlak diperlukan dalam proses mediasi.
5. Privilege and legal proceedings
Hak untuk menentukan pilihan cara penyelesaian sengketa merupakan hak-hak
istimewa dari pihak yang bersengketa. Dan bila mana proses mediasi belum
berhasil mencapai perdamaian, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh
upaya hukum.
Mediasi sangat sulit di definisikan. Dimensinya
sangat jamak dan tak terbatas sehingga banyak orang yang menyebutkan mediasi
tidak mudah diberi definisi. Mediation is not easy to define. It does not
provide a single analytical model which can be neatly described and distinguished from other
decision-making processes.[26]
Hal ini disebabkan karena mediasi
tidak memberi satu model yang dapat diuraikan secara terinci dan dibedakan dari
proses pengambilan keputusan lainnya.mediasi sangat tergantung kepada lakon
yang dimainkan tuoleh pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah yakni para
pihak dan mediator.
mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat dan mediator adalah perantara (penghubung,penengah) ia bersedia bertindak sebagai mediator bagi pihak yang bersengketa itu.[27]
mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat dan mediator adalah perantara (penghubung,penengah) ia bersedia bertindak sebagai mediator bagi pihak yang bersengketa itu.[27]
Pada PERMA No.1 Tahun 2016 Pasal 31 ayat 1 untuk
mediasi perkara perceraian dalam lingkungan peradilan agama yang tuntutan
perceraian dikumulsikan dengan tuntutan lainnya, jika para pihak tidak mencapai
kesepakatan untuk hidup rukun hidup kembali, Mediasi dilanjutkan dengan
tuntutan lainnya.[28]
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.[29] Sedangkan pengertian mediator
adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.[30]
Karakteristik mediasi
Karakteristik utama dari proses mediasi ,menurut
Candra Irwan yang dikutip Rustam adalah[31]
a. Adanya kesempatan para pihak untuk melibatkan pihak keriga yang netral
b. Mediator berperan sebagai penengah yang memfasilitasi keinginan pada
pihak untuk berdamai:
c. Para pihak secara bersama menentukan sendiri keputusan yang akan di
sepakati:
d. Mediator dapat mengusulkan tawaran-tawaran penyelesaian sengketa kepada
para pihak tanpa ada kewenangan memaksa dan memutuskan:
e. Mediator membantu pelaksanaan isi kesepakatan yang di capai dalam
mediasi.
2.
Tujuan dan
Manfaat Mediasi
Menurut Rustam dalam bukunya diskursus Integrasi
Mediasi adalah :
Mediasi merupakan salah satu bentuk alternative penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Tujuan mediasi dilakukan adalah untuk
menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang
netral dan imparsial.[32]
Mediasi dapat mengantarkan para pihak mewujudkan
kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa
melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak
pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang
dikalahkan sehingga permasalahan benar-benar terselesaikan dengan baik.
Penyelesaian sengketa melalui jalur meiasi sangat
dirasakan manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan mengakhiri
pertengkaranmereka secara adil dan saling menguntungkan. Penyelesaian sengketa
memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam
kenyataan. Modal utama penyelesaian sengketa adalah keinginan dan itikad baik
para pihak dalam mengakhiri persengketaan mereka. Keinginan dan itikad baik ini
kadang-kadang memerlukan bantuan pihak ketiga dalam mewujudkannya. Mediasi
merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga.
Mediasi dapat memberikan sejumlah manfaat diantaranya dikemukakan oleh
Syahrizal Abbas yang di kutip oleh Rustam ia mengemukakan bahwa antara lain
1. Mediasi di harapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan
relative murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan
atau lembaga arbitrase.
2. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka
secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi
bukan hanya tertuju pada hak-hak
hukumnya.
3. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4. Mediasi memberikan kemampuan para pihak untuk melakukan control terhadap
proses dan hasilnya.
5. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam ligitasi dan arbitrase sulit
dipredisi, dengan suatu kepastian melalui suatu consensus.
6. Mediasi dapat mengubah hasil tahan uji dan akan mampu menciptakan saling
pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka
sendiri yang memutuskannya.
7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hamper selalu
mengitringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di
pengadilan
3.
Perceraian
1.
Pengertian
perceraian
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah
di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan
undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai
perceraian itu serta sebab-akibat yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu
perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang
mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.[33]
Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik
dalam pandangan Agama maupun dalam lingkup Hukum positif. Agama menilai bahwa
perceraian adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun
demikian, Agama tetap memberikan keleluasan kepada setiap pemeluk Agama unruk
menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang memiliki permasalahan
dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya perceraian.
Gugatan perceraian adalah gugatan tentang pemutusan
ikatan perkawinan. Menurut tinjauan hukum perdata, pada prinsipnya gugatan
perceraian ini bisa dikategorikan gugatan tentang ingkar janji atas perjanjian
untuk mengikatkan diri secara lahir dan batin (vide pasal 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974). Namun demikian, oleh karena perceraian ini secara khusus telah
diatur dalam ketentuan tersendiri, yaitu bagi orang-orang yang beragama Islam
di atur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam di
Inddonesia, sedangkan orang selain Islam diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka sesuai
dengan asas lex specialis derogate
legigeneralis, ketentuan yang khusus itulah nama yang harus diberlakukan.
Di dalam gugatan perceraian, harus di perhatikan
pula alas hak bagi penggungat di dalam mengajukan gugatan, yaitu terjadinya
perkawinan yang sah, yang dibuktikan dengan akta perkawinan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Seringkali dalam praktik, yang terjadi dalam
masyarakat adalah perkawinan diam-diam (siri), yang tidak pernah didaftarkan,
sehingga tidak ada bukti autentik tentang terjadinya perkawinan yang sah.[34]
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis
dan Lokasi Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah
penelitian kualitatif yang lebih di kenal dengan istilah naturalistic inquiry penelitian kualitatif adalah penelitian yang
tidak mengadakan perhitungan dengan angka-angka, karena penelitian kualitatif
adalah penelitian yang memberikan gambaran tentang kondisi secara faktual dan
sistematis mengenai factor-faktor, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena
yang dimiliki untuk melakukan akumulasi dasar-dasar saja.
2.
Lokasi
Penelitian
S. Nasution berpendapat bahwa ada tiga unsur penting
yang perlu di pertimbangkan dalam menetapkan lokasi penelitian yaitu : tempat,
pelaku dan kegiatan.[35]
Peneltian tentang Peranan Hakim dalam Memediasi Perceraian di Pengadilan Agama
Maros. Adapun hal yang menjadi dasar dalam pemilihan tempat di Pengadilan Agama
Maros ini karena merupakan Pengadilan yang sudah cukup maju dan modern atau
kata lain sudah tidak menjadi Pengadilan yang tertinggal buktinya dengan
memiliki gedung yang lumayan mewah dan besar.
Namun berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti melihat di
pengadilan ini ada peranan dan pengaruh dari mediasi para perceraian di
Pengadilan Agama Maros, khususnya mengatasi perceraian.
Untuk itu peneliti ingin mengetahui bagaimana
peranan dan pengaruh Hakim dalam mediasi pada khususnya mengatasi perceraian di pengadilan Agama Maros.
B.
Sumber
Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat
diklarifikasikan sebagai berikut:
1.
Data primer
Data primer, adalah data yang didapatkan dalam
penelitian di lapangan. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi dari
pihak-pihak yang terlibat dalam proses mediasi di pengadilan, seperti hakim
mediator, mediator bersertifikat dari luar pengadilan, para pihak berperkara
(disputants), dan advokat atau kuasa hukum.[36]
Dalam penelitian ini menjadi informan kunci (key informan) adalah : hakim mediator dan mediator non-hakim, para
pihak berperkara, dan advokat atau kuasa hukum.
2.
Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperlukan untuk
melengkapi data primer. Adapun data sekunder tersebut anatara lain studi
kepustakaan dengan mengumpulkan data dan mempelajari dengan mengutip konsep
dari buku-buku yang membahas tentang penyelesaian sengketa perceraian, dan
artikel yang berkaitan dengan kajian penelitian ini. Ataupun memanfaatkan
dokumen tertulis, gambar foto atau benda-benda yang berkaitan dengan aspek yang
diteliti.
C.
Teknik
Pengumpulan Data
1.
Obsevasi,
merupakan alat pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat
secara sistematik gejala-gejala yang di selidiki.[37]
Hal ini seperti pengamatan secara langsung pelaksanaan mediasi di pengadilan
sehingga bukan hanya didengar saja yang dapat dijadikan informasi tetap
gerakan-gerakan dan raut wajah pun
mempengaruhi observasi yang dilakukan.
2.
Wawancara
mendalam, merupakan proses Tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara
lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan secara mendalam dan detail.[38]
Wawancara dilakukan dengan responden terdiri atas
hakim mediator dan mediator non-hakim, para pihak berperkara, dan advokat atau
kuasa hukum. Untuk memudahkan pengumpulan data, wawancara secara terstruktur
dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.
3.
Dokumentasi,
sejumlah besar fakta dan data yang tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumen. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat,
catatan harian, cendramata, foto dan lain sebagainya. Dokumentasi dilakukan
dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk menganalisis akta perdamaian atau
putusan perdamaian pengadilan.[39]
D.
Instrument
Penelitian
Instrument utama dalam penelitian kualitatif adalah
peneliti sendiri, yakni peneliti yang berperan sebagai perencana, pelaksana,
menganalisis, menafsirkan data hingga pelaporan hasil pek terlepas dari
instrumen nelitian. Peneliti sebagai instrument harus berkemampuan dalam
menganalisis data. Barometer keberhasilan suatu penelitian tidak terlepas dari
instrumen yang digunakan, karena itu instrumen yang digunakan dalam penelitian
lapangan ini meliputi : Observasi, dokumentasi, wawancara (interview) dengan daftar pertanyaan
penelitian yang telah dipersiapkan (pedoman wawancara), camera, alat perekam,
dan buku catatan.
E.
Teknik
Pengelohan dan Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara
kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh
disusun secara sistematis untuk mencapai kejelasan dari masalah yang
dibahas. Analisi data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan
data deskripstif analisis, yaitu dengan menjelaskan dan menginterpretasikan
secara logis dan sistematis data yang diperoleh dari hasil penelitian.
Logis dan sisteatis menunjukkan cara berfikir
deduktif-induktif dan mengetahui tata tertib dalam penulisan laporan-laporan penelitian
ilmiah. Setelah analisis data selesai, hasilnya akan disajikan secara
deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesaui
permasalahan yang di teliti. Dari hasil tersebut kemudian ditarik kesimpulan
yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Adapun alternative analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode interpretasi (penafsiran) sesaui kelaziman yang
digunakan dalam penelitian ilmu hukum, seperti metode penafsiran ekstensif,
gramatikal dan sistematis.[40]
Sebagian besar data yang diperoleh dan digunakan
dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Data kualitatif adalah data yang
bersifat abstrak atau tidak terukur oleh karena itu, dalam memperoleh data
tersebut penulis mengunakan metode pengolahan data yang sifatnya kualitatif,
sehingga dalam mengolah data penulis menggunakan teknik analisis data sebagai
berikut:
1.
Redusi Data
(Data Reduction)
Reduksi data
yang dimaksud di sini ialah proses pemelihan, pemutusan perhatian untuk
menyederhanakan, mengabstrakkan dan tranformasi data “kasar” yang bersumber dari
catatan penulis di lapangan.[41]
Reduksi ini diharapkan untuk menyederhanakan data yang telah diperoleh agar
memberikan kemudhan dalam menyimpan hasil penelitian. Dengan kata lain seluruh
hasil penelitian dari lapangan yang telah terkumpulkan kembali dipilih untuk
menentukan data mana yang tepat untuk digunakan.
2.
Penyajian Data
(Data Display)
Penyajian data yang telah diperoianleh dari lapangan
terkait dengan seluruh permasalahan penelitian dipilah antara mana yang
dibutuhkan dengan yang tidak, lalu dikelompokkan kemudian diberikan batasan
masalah.[42] Dari penyajian data
tersebut maka diharapkan dapat memberikan kejelasan dan mana data pendukung.
3.
Teknik
Analisis Perbandingan (Kompratif)
Dalam teknik ini peneliti mengkaji data yang telah
diperoleh dari lapangan secara sistematis dan mendalam lalu dibandingkan suatu
data dengan data yang lainnya sebelum ditarik sebuah kesimpulan.
4.
Penarikan
Kesimpulan
Langkah selanjutnya dalam menganalis data kualitatif
menutur Miles dan Hubermen sebagaimana di tulis Sugiono adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi, seriap kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.[43]
[1]Rustam,
diskursus integrasi mediasi dalam proses pemeriksaan perkara perdata di
penngadilan, cet I: Makassar:dua satu press, 2014, h.1
[2]Soerjono
Soekanto, Beberapa permasalahan Hukum
dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, cetakan keempat, UI-Press, Jakarta. 1983, h.98
[3]
AL-‘ALIM Al-Qur’an dn terjemahnya .h.518
[4]
miur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia, h.
206
[5]
Tim Permata Persa, Undang-undang PErkawinan
Administrasi, Kependudukan dan Kewarganegaraan, BAB.II Pasal 7 (Jakarta:
Permata Perss 2015), h.2
[6]
H.Moch Anwar, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan KEputusan di Pengadilan
Agama (Cet.I;Bandung: CV. Ponongoro, 1991), h.15
[7]
AL-‘ALIM Al-Qur’an dn terjemahnya .h.644
[8]
Lihat Dr. Musthafa Abdul Wahid, Al-usrah
di Al-Islam, h. 97
[9]
Abdul Gapur, Problem yang dihadapi hakim mediator dalam mediasi perceraian
suami isteri di pengadilan agama maros. (Skripsi: Sarjan Fakultas Syari’ah dan
hukum Universitas Islam Negri Suna kalijaga Yogyakarta, Tahun 2010).
[10]
Arif Rijal Fadilah, “Efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan
agama sleman Yogyakarta,(Skripsi : Sarjana Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negri sunan kalijaga Yogyakarta). Tahun 2014
[11]
Bambang Waluyo, PIDANA dan PEMIDANAAN, (Cet.III;Jakarta : Sinar Grafika,
2008),h.72-73
[12]
PERMA NO.1 Tahun 2016 pasal 1 ayat 2
[13]
Lihat Mujahid A. Latief, et,al.,
kebijakan reformasi hukum: suatu rekomendasi (jilid II ), (jakarta: komisi
hukum nasional RI, 2007), h. 283.
[14]
Undang-undang no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, telah diubah dengan
undang-undang nomor 3 tahun 2006, dan diubah lagi dengan undang-undang no 50
tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undnag-undang no 7 tahun 1989. Pasal 11
ayat (1) undang-undang nomor 3 tahun 2006 memberi penengasan yang sama : “hakim
pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.
[15]
Lihat Wildan suyuthi mustofa, kode etik, etika profesi dan tanggung jawab
hakim, Jakarta: Mahkamah agung RI, 2004),h.2.
[16]
Lihat Bagir manan, wajah hukum die rah reformasi, (bandung: citra aditya bakti)
2000) h. 263.
[17]
Bambang Waluyo, pidana dan pemidanaan,( cet. III, Jakarta, Sinar Grafika,
2008), h.74
[18]
H.A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (
Jakarta :Sinar Grafika Offeset, 2012),h, 24-25
[19]Bambang
Woluyo, pidana dan pemidanaan, (cet.III, Jakarta :sinar grafika, 2008),h.83
[20]
Lihat Ais Chatamarrasyid,”pola rekrukmen dan pembianaan karier
aparat penengak hukum yang mendukung pengengakan hukum” , makalah seminar
revormasi sistem peradilan dalam penengakan hukum di Indonesia BPHN dengan fak.
Hukum unsri dan kantor wilayah dephukham prov.sumsel, Palembang 3-4 april 2007,
h. 1-2
[21]
Kamus HUKUM (Dictionary of law complete edition) h, 426
[22] PERMA
No. 1 Tahun 2016, h.3
[23]
Laurence boulle, terj mediation: principles, proses, practice. Butterworths,
Sidney Australia. 1996, h. 4-5
[24]
Lihat, Rustam, diskursus integrasi mediasi dalam proses pemeriksaan perkara
perdata di penngadilan, cet I: Makassar:dua satu press, 2014, h.186
[25]
Lihat, Rustam, diskursus integrasi mediasi dalam proses pemeriksaan perkara
perdata di penngadilan, cet I: Makassar:dua satu press, 2014, h.187
[26]
Lihat, Rustam, diskursus integrasi mediasi dalam proses pemeriksaan perkara
perdata di penngadilan, cet I: Makassar:dua satu press, 2014, h.18????
[27]
Kamus besar bahasa Indonesia,2008,h.892.
[28]PERMA
NO. 1 Tahun 2016, bagian ke 5 pasal 31 ayat 1
[29]
Pasal 1 angka 7 PERMA NO.1 Tahun 2008
[30]
Pasal 1 Angka 6 PERMA NO.1 Tahun 2008
[31]
Lihat, Rustam, Diskursus Integrasi Mediasi dalam
proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan, (cet.I , Makassar: dua
satu press), h.85
[32]
Rustam, Diskursus Integrasi Mediasi dalam
proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan, (cet.I , Makassar: dua
satu press), h.95
[34]
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Aternatif Penyelesaian
sengketa, (cet.I Jakarta : Remaja
Rosdakarya,2012),h.116
[35]
S. Nasution, metode naturalistic kualitatif (Bandung:Tarsinto, 1996), h.43
[36]
Rustam, Diskursus Integrasi Mediasi dalam
proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan, h. 32
[37]
Lihat Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian. (cet.VIII; Jakarta :
PT. Bumi Aksara, 2007), h.70
[38]
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian,h.82
[39] Rustam , , Diskursus Integrasi Mediasi dalam proses pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan, h, 34.
[40]Lihat
yudha Ardiwisata, penafsiran dan
kontruksi hukum, Alumni, Bandung. 2000. h.9-
[41]Sugiono,
Metode Penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R&D, (cet, VI; Bandung :
Alfabeta,2008,h.247
[42]
Sugiono, Metode Penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R&D,h. 249
[43]
Sugiono, Metode Penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R&D,h. 253
Tidak ada komentar:
Posting Komentar